Minggu, 25 Maret 2012

Gejala Anxietas


Apa saja ciri-ciri Anxiety Disorder?

Ada 6 simtom anxiety disorder
  1. Cemas, gelisah (khawatir)
  2.  Mudah merasa lelah
  3. Sulit untuk berkonsentrasi
  4. Iritabilitas atau mudah marah, mudah tersinggung (sensitive)
  5. Ketegangan otot (motorik)
  6. Gangguan tidur -> sulit tidur, kualitas tidur buruk dan sering terbangun

Dan seseorang yang dikatakan memiliki anxiety disorder harus memiliki minimal 3 ciri diatas dan harus berlangsung minimal selama 6 bulan & mengganggu seluruh peran dan aktivitas kehidupannya.



Sumber : Materi perkuliahan Psikologi Abnormal 19 Maret 2012. Dosen bu Zarina Akbar, M.Psi . UNJ

Sabtu, 17 Maret 2012

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB GANGGUAN JIWA


FAKTOR SOMATOGENIK (FISIK BIOLOGIS)
  • Nerokimia, misal : Gangguan pada kromosom no 21 menyebabkan munculnya gangguan perkembangan Sindrom Down
  • Nerofisiologi
  • Neroanatomi
  • Tingkat kematangan dan perkembangan organik
  • Faktor-faktor prenatal dan perinatal

FAKTOR PSIKOGENIK (PSIKOLOGIS)
  • Interaksi ibu-anak
  • Interaksi ayah-anak : peranan ayah
  • Sibling rivalry
  • Hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permainan, dan masyarakat
  • Kehilangan : Lossing of love object
  • Konsep dini : pengertian identitas diri VS peranan yang tidak menentu
  • Tingkat perkembangan emosi
  • Pola adaptasi dan pembelaan sebagai reaksi terhadap bahaya : Mekanisme pertahanan diri yang tidak efektif 
  • Ketidakmatangan atau terjadinya fiksasi atau regresi pada tahap perkembangannya
  • Traumatic Event
  • Distorsi Kognitif
  • POLA ASUH PATOGENIK : sumber gangguan penyesuaian diri pada anak

Apa itu POLA ASUH PATOGENIK ?
  1. Melindungi anak secara berlebihan karena memanjakannya
  2. Melindungi anak secara berlebihan karena sikap “berkuasa” dan “harus tunduk saja”
  3. Penolakan (rejected child)
  4. Menentukan norma-norma etika dan moral yang terlalu tinggi
  5. Disiplin yang terlalu keras
  6. Disiplin yang tidak teratur atau yang bertentangan
  7. Perselisihan antara ayah-ibu
  8. Perceraian
  9. Persaingan yang kurang sehat diantara para saudaranya
  10. Nilai-nilai yang buruk (yang tidak bermoral)
  11. Perfeksionisme dan ambisi (cita-cita yang terlalu tinggi bagi si anak)
  12. Ayah dan atau ibu mengalami gangguan jiwa (psikotik atau non-psikotik
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Pola Asuh Patogenik adalah Pola Asuh yang "Sakit"

FAKTOR SOSIOGENIK (SOSIAL-BUDAYA)
  • Tingkat ekonomi
  • Lingkungan tempat tinggal : perkotaan VS pedesaan
  • Masalah kelompok minoritas yg meliputi prasangka, fasilitas kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan yang tidak memadai
  • Pengaruh rasial dan keagamaan
  • Nilai-nilai

 Sumber : Bahan ajar power point materi kuliah psikologi abnormal bu (Zarina Akbar. M,Psi) tgl 5 maret 2012

Rabu, 07 Maret 2012

Daniel Radcliffe & OCD


Daniel Radcliffe Ternyata Penderita OCD

Jangan dikira para publik figur yang nampak sempurna di layar kaca maka kehidupan 'normal' nya juga sempurna.  Ini dia salah satu contoh tokoh dimana hampir semua orang mengenalnya dengan kesempurnaannya. Dan ternyata dibalik itu semua, dia memiliki kecemasan yang kelewatan.


Kapanlagi.com - Di balik wajah dan ketenarannya, ternyata Daniel Radcliffemenyimpan sesuatu yang tidak menyenangkan. Bintang HARRY POTTER ini ternyata mengidap penyakit obsessive-compulsive disorder yang lebih dikenal dengan nama OCD.


Seperti dilansir dari The Sun, aktor asal Inggris ini mengaku telah mengidap penyakit tersebut sejak berusia lima tahun. Kelainan ini membuat Daniel selalu tidak percaya diri dengan apa yang sudah dilakukannya.

OCD sendiri adalah kelainan kecemasan klinis yang membuat penderitanya selalu bersikap obsesif. Perilaku ini membawa penderita menuju sikap perfectionis yang berlebihan. Contohnya, Daniel sendiri perlu waktu hingga lima menit untuk meyakinkan diri bahwa dia telah mematikan lampu

"Aku harus mengulang-ulang setiap kata yang kuucapkan dalam hati. Pokoknya aku akan menghimbau siapa saja untuk melakukan terapi. Kelainan ini jangan sampai membuat kalian merasa gila atau lemah," ungkap Daniel.

Selama setahun belakangan, Daniel mengaku kondisinya jauh lebih baik. Namun sayang hal itu justru membuatnya lalai dan melupakan terapi. Walaupun hal ini belum menimbulkan terlalu banyak masalah, namun, Daniel mengaku khawatir dengan hal tersebut. (sun/ris)


Sumber :
http://www.kapanlagi.com/showbiz/hollywood/daniel-radcliffe-ternyata-penderita-ocd.html

CBT and SRI


Cognitive behavioral therapy (CBT) is a psychotherapeutic approach: a talking therapy. CBT aims to solve problems concerning dysfunctional emotions, behaviors and cognitions through a goal-oriented, systematic procedure in the present. The title is used in diverse ways to designatebehavior therapycognitive therapy, and to refer to therapy based upon a combination of basicbehavioral and cognitive research.

There is empirical evidence that CBT is effective for the treatment of a variety of problems, including mood, anxiety, personality, eating, substance abuse, and psychotic disorders. Treatment is sometimes manualized, with specific technique-driven brief, direct, and time-limited treatments for specific psychological disorders. CBT is used in individual therapy as well as group settings, and the techniques are often adapted for self-help applications. Some clinicians and researchers are more cognitive oriented (e.g. cognitive restructuring), while others are more behaviorally oriented (in vivo exposure therapy). Other interventions combine both (e.g. imaginal exposure therapy).

CBT was primarily developed through an integration of behavior therapy with cognitive therapy. While rooted in rather different theories, these two traditions found common ground in focusing on the "here and now", and on alleviating symptoms. Many CBT treatment programs for specific disorders have been evaluated for efficacy; the health-care trend of evidence-based treatment, where specific treatments for symptom-based diagnoses are recommended, has favored CBT over other approaches such as psychodynamic treatments. In the United Kingdom, the National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE) recommends CBT as the treatment of choice for a number of mental health difficulties, including post-traumatic stress disorderOCDbulimia nervosa, and clinical depression

Anxiety disorders
A basic concept in some CBT treatments of anxiety disorders is in vivo exposure—a gradual exposure to the actual, feared stimulus. This treatment is based on the theory that the fear response has been classically conditioned and that avoidance negatively reinforces and maintains that fear. This "two-factor" model is often credited to O. Hobart Mowrer. Through exposure to the stimulus, this conditioning can be unlearned; this is referred to as extinction and habituation. CBT also looks at an individual's way of thinking and the way that he or she reacts to certain habits or behaviors.  A specific phobia, such as fear of spiders, can often be treated with in vivo exposure and therapist modeling in one session. Obsessive compulsive disorder is typically treated with exposure with response prevention.

Social phobia, also known as social anxiety, has often been treated with exposure coupled with cognitive restructuring, such as in Heimberg's group therapy protocol. Evidence suggests that cognitive interventions improve the result of social phobia treatment. CBT has been shown to be effective in the treatment of generalized anxiety disorder, and possibly more effective than pharmacological treatments in the long term. In fact, one study of patients undergoing benzodiazepine withdrawal who had a diagnosis of generalized anxiety disorder showed that those who received CBT had a very high success rate of discontinuing benzodiazepines compared to those who did not receive CBT. This success rate was maintained at 12-month follow up. Furthermore in patients who had discontinuedbenzodiazepines, it was found that they no longer met the diagnosis of general anxiety disorder and that patients no longer meeting the diagnosis of general anxiety disorder was higher in the group who received CBT. Thus CBT can be an effective tool to add to a gradual benzodiazepine dosage reduction program leading to improved and sustained mental health benefits.

"Dalam tataran dunia psikologi klinis, terapi kognitif perilakuan atau sering kita sebut sebagai CBT (Cognitive Behavioral Therapy) merupakan salah satu metode psikoterapi yang paling fenomenal. Sebagai sebuah terapi yang bertujuan untuk memecahkan masalah tentang disfungsional emosi, perilaku dan kognisi melalui prosedur berorientasi pada tujuan, metode ini dikenal dengan tahapan-tahapannya yang sistematis, goal oriented, dan bisa cukup leluasa dikombinasikan dengan metode lain untuk mewujudkan proses psikoterapi yang integratif."

Serotonin Reuptake Inhibitor
A serotonin reuptake inhibitor (SRI) is a type of drug that acts as a reuptake inhibitor for the neurotransmitter serotonin (5-hydroxytryptamine [5-HT]) by blocking the action of the serotonin transporter (SERT). This in turn leads to increased extracellular concentrations of serotonin and, therefore, an increase in serotonergic neurotransmission.

SRIs are not synonymous with selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs), as the latter term is usually used to describe the class of antidepressants of the same name, and, because SRIs, unlike SSRIs, can be either selective or nonselective in their action. For example, cocaine, which nonselectively inhibits the reuptake of serotoninnorepinephrine, and dopamine, can be called an SRI, but not an SSRI.

Indication

Sumber :

Obsessive Compulsive Disorder / OCD


Apa itu Gangguan Obsesif Kompulsif (Obsessive Compulsive Disorder / OCD)?

Penyakit Obsesif-Kompulsif ditandai dengan adanya  obsesi  dan kompulsi. Obsesi adalah gagasan, khayalan atau dorongan yang berulang, tidak diinginkan dan mengganggu, yang tampaknya konyol, aneh atau menakutkan. Kompulsi adalah desakan atau paksaan untuk melakukan sesuatu yang akan meringankan rasa tidak nyaman akibat obsesi.
Gangguan Obsesif-kompulsif (Obsessive-Compulsive Disorder, OCD) adalah kondisi dimana individu tidak mampu mengontrol dari pikiran-pikirannya yang menjadi obsesi yang sebenarnya tidak diharapkannya dan mengulang beberapa kali perbuatan tertentu untuk dapat mengontrol pikirannya tersebut untuk menurunkan tingkat kecemasannya. Gangguan obsesif-kompulsif merupakan gangguan kecemasan dimana dalam kehidupan individu didominasi oleh repetatif pikiran-pikiran (obsesi) yang ditindaklanjuti dengan perbuatan secara berulang-ulang (kompulsi) untuk menurunkan kecemasannya.
Penderita gangguan ini mungkin telah berusaha untuk melawan pikiran-pikiran menganggu tersebut yang timbul secara berulang-ulang akan tetapi tidak mampu menahan dorongan melakukan tindakan berulang untuk memastikan segala sesuatunya baik-baik saja.

PENYEBAB
Penyebabnya tidak diketahui. Gangguan obsesif-kompulsif tidak ada kaitan dengan bentuk karakteristik kepribadian seseorang, pada individu yang memiliki kepribadian obsesif-kompulsif cenderung untuk bangga dengan ketelitian, kerapian dan perhatian terhadap hal-hal kecil, sebaliknya pada gangguan obsesif-kompulsif, individu merasa tertekan dengan kemunculan perilakunya yang tidak dapat dikontrol. Mereka merasa malu bila perilaku-perilaku tersebut dipertanyakan oleh orang yang melihatnya karena melakukan pekerjaan yang secara berulang-ulang. Mereka berusaha mati-matian untuk menghilangkan kebiasaan tersebut. 

Penyebab Obsesif Kompulsif adalah: 
  1. Genetik - (Keturunan). Mereka yang mempunyai anggota keluarga yang mempunyai sejarah penyakit ini kemungkinan beresiko mengalami OCD (Obsesif Compulsive Disorder). 
  2. Organik – Masalah organik seperti terjadi masalah neurologi dibagian - bagian tertentu otak juga merupakan satu faktor bagi OCD. Kelainan saraf seperti yang disebabkan oleh meningitis dan ensefalitis juga adalah salah satu penyebab OCD. 
  3. Kepribadian - Mereka yang mempunyai kepribadian obsesif lebih cenderung mendapat gangguan OCD. Ciri-ciri mereka yang memiliki kepribadian ini ialah seperti keterlaluan mementingkan aspek kebersihan, seseorang yang terlalu patuh pada peraturan, cerewet, sulit bekerja sama dan tidak mudah mengalah. 
  4. Pengalaman masa lalu - Pengalaman masa lalu/lampau juga mudah mencorakkan cara seseorang menangani masalah di antaranya dengan menunjukkan gejala OCD.
  5. Gangguan obsesif-kompulsif erat kaitan dengan depresi atau riwayat kecemasan sebelumnya. Beberapa gejala penderita obsesif-kompulsif seringkali juga menunjukkan 
  6. Konflik - Mereka yang mengalami gangguan ini biasanya menghadapi konflik jiwa yang berasal dari masalah hidup. Contohnya hubungan antara suami-istri, di tempat kerja, keyakinan diri.

Gangguan obsesif-kompulsif erat kaitan dengan depresi, atau riwayat kecemasan sebelumnya. Beberapa gejala penderita obsesif-kompulsif seringkali juga menunjukkan gejala yang mirip dengan depresi. Perilaku yang obsesif pada ibu depresi berusaha berkali-kali atau berkeinginan untuk membunuh bayinya.

INDIVIDU YANG BERISIKO
Individu yang beresiko mengalami gangguan obsesif-kompulsif adalah; 
  1. Individu yang mengalami permasalahan dalam keluarga dari broken home, kesalahan atau kehilangan masa kanak-kanaknya. (teori ini masih dianggap lemah namun masih dapat diperhitungkan) 
  2. Faktor neurobilogi dapat berupa kerusakan pada lobus frontalis, ganglia basalis dan singulum. 
  3. Individu yang memilki intensitas stress yang tinggi 
  4. Riwayat gangguan kecemasan 
  5. Depresi 
  6. Individu yang mengalami gangguan seksual

GEJALA
Obsesi yang umum bisa berupa kegelisahan mengenai pencemaran, keraguan, kehilangan dan penyerangan. Penderita merasa terdorong untuk melakukan ritual, yaitu tindakan berulang, dengan maksud tertentu dan disengaja.
Sebagian besar ritual bisa dilihat langsung, seperti mencuci tangan berulang-ulang atau memeriksa pintu berulang-ulang untuk memastikan bahwa pintu sudah dikunci. Ritual lainnya merupakan kegiatan batin, misalnya menghitung atau membuat pernyataan berulang untuk menghilangkan bahaya.
Penderita bisa terobsesi oleh segala hal dan ritual yang dilakukan tidak selalu secara logis berhubungan dengan rasa tidak nyaman yang akan berkurang jika penderita menjalankan ritual tersebut. Penderita yang merasa khawatir tentang pencemaran, rasa tidak nyamannya akan berkurang jika dia memasukkan tangannya ke dalam saku celananya. Karena itu setiap obsesi tentang pencemaran timbul, maka dia akan berulang-ulang memasukkan tangannya ke dalam saku celananya.
Sebagian besar penderita menyadari bahwa obsesinya tidak mencerminkan resiko yang nyata. Mereka menyadari bahwa perliku fisik dan mentalnya terlalu berlebihan bahkan cenderung aneh.
Penyakit obsesif-kompulsif berbeda dengan penyakit psikosa, karena pada psikosa penderitanya kehilangan kontak dengan kenyataan. Penderita merasa takut dipermalukan sehingga mereka melakukan ritualnya secara sembunyi-sembunyi. Sekitar sepertiga penderita mengalami depresi ketika penyakitnya terdiagnosis.
Gejala ditandai dengan pengulangan (repetatif) pikiran dan tindakan sedikitnya 4 kali untuk satu kompulsi dalam sehari dan berlangsung selama 1 sampai 2 minggu selanjutnya.

Gejala utam obsesi-kompulsif harus memenuhi kriteria:
  1. Perilaku dan pikiran yang muncul tersebut disadari sepenuhnya oleh individu atau didasarkan pada impuls dalam dirinya sendiri. Individu juga menyadari bahwa perilakunya itu tidak rasional, namun tetap dilakukan untuk mengurangi kecemasan. 
  2. Beberapa perilaku yang muncul disadari oleh oleh individu dan berusaha melawan kebiasaan dan pikiran-pikiran rasa cemas tersebut sekuat tenaga, namun tidak berhasil.
  3. Pikiran dan tindakan tersebut tidak memberikan perasaan lega, rasa puas atau kesenangan, melainkan disebabkan oleh rasa khawatir secara berlebihan dan mengurangi stres yang dirasakannya. 
  4. Obsesi (pikiran) dan kompulsi (perilaku) sifatnya berulang-ulang secara terus-menerus dalam beberapa kali setiap harinya.

CIRI-CIRI OBSESIF KOMPULSIF
Simptom dari Obsesif Kompulsif ditandai dengan pengulangan (repetatif) pikiran dan tindakan sedikitnya 4 kali untuk satu kompulsi dalam sehari dan berlangsung selama 1 sampai 2 minggu selanjutnya. Gejala utama obsesi-kompulsif harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
  1. Perilaku dan pikiran yang muncul tersebut disadari sepenuhnya oleh individu atau didasarkan pada impuls dalam dirinya sendiri. Individu juga menyadari bahwa perilakunya itu tidak rasional, namun tetap dilakukan untuk mengurangi kecemasan.
  2. Beberapa perilaku yang muncul disadari oleh individu dan berusaha melawan kebiasaan dan pikiran-pikiran rasa cemas tersebut sekuat tenaga, namun tidak berhasil.
  3. Pikiran dan tindakan tersebut tidak memberikan perasaan lega, rasa puas atau kesenangan, melainkan disebabkan oleh rasa khawatir secara berlebihan dan mengurangi stres yang dirasakannya. 
  4. Obsesi (pikiran) dan kompulsi (perilaku) sifatnya berulang-ulang secara terus-menerus dalam beberapa kali setiap harinya. 
  5. Obsesi dan kompulsi menyebabkan terjadinya tekanan dalam diri penderita dan menghabiskan waktu (lebih dari satu jam sehari) atau secara signifikan mengganggu fungsi normal seseorang, atau kegiatan sosial atau suatu hubungan dengan orang lain. 
  6. Penderita merasa terdorong untuk melakukan ritual, yaitu tindakan berulang seperti mencuci tangan & melakukan pengecekan dengan maksud tertentu.

BERBAGAI PERILAKU GANGGUAN YAN SERING TERJADI : 
  • Membersihkan atau mencuci tangan 
  • Memeriksa atau mengecek 
  • Menyusun 
  • Mengkoleksi atau menimbun barang 
  • Menghitung atau mengulang pikiran yang selalu muncul (obsesif) 
  • Takut terkontaminasi penyakit/kuman 
  • Takut membahayakan orang lain 
  • Takut salah 
  • Takut dianggap tidak sopan 
  • Perlu ketepatan atau simetri 
  • Bingung atau keraguan yang berlebihan. 
  • Mengulang berhitung berkali-kali (cemas akan kesalahan pada urutan bilangan)

Individu yang mengalami gangguan obsesif-kompulsif kadang memilki pikiran intrusif tanpa tindakan repetatif yang jelas akan tetapi sebagian besar penderita menunjukkan perilaku kompulsif sebagai bentuk lanjutan dari pikiran-pikiran negatif sebelumnya yang muncul secara berulang, seperti ketakutan terinfeksi kuman, penderita gangguan obsesif-kompulsif sering mencuci tangan (washer) dan perilaku umum lainnya seperti diatas.

Sumber : http://www.psychologymania.com/2011/09/gangguan-obsesif-kompulsif-obsessive.html

Minggu, 04 Maret 2012

OCD (Obsessive Compulsive Disorder)


A Mindfulness-Based Treatment of Obsessive-Compulsive Disorder

Abstrak
Mereka yang menderita gangguan obsesif-kompulsif (OCD), sebagian besar tidak merespon dengan baik terhadap pengobatan yang standar dari dua percobaan Serotonin reuptake inhibitor (SRI) dan Cognitive behavioral therapy (CBT) . Selain menjadi refrakter terhadap pengobatan, orang-orang yang memiliki gangguan ini dapat  mempengaruhi kualitas hidup mereka. Para penulis menyajikan kasus  seorang individu yang dibantu untuk meningkatkan kualitas hidupnya dengan menerima dirinya adalah seorang OCD dan sebagai kekuatan serta meningkatkan kesadaran sehingga dia mampu memasukkan  OCD-nya dalam kehidupan sehari-hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dia berhasil mengatasi OCD-nya, melemahkan dan ini diperoleh dari semua pengobatan dalam waktu 6 bulan intervensi. Tiga tahun pasca intervensi tindak lanjut menunjukkan bahwa dia sehat, memiliki gaya hidup sehat meskipun tetap ada beberapa pikiran obsesif, mereka tidak mengontrol perilakunya.

Inti Kasus
Janice berusia 25 tahun, seorang Kaukasia. Dia mengalami OCD ‘bebersih’, selalu membersihkan dirinya dan ruangannya. Ketakutan akan kuman yang membuatnya selalu bebersih. Menurutnya kuman dapat membuatnya sakit bahkan mati. Janice sangat peduli akan kebersihan, ini didapat dari ibunya. Saat usianya 10 tahun, adiknya meninggal dunia, dan dia percaya bahwa kepergian adiknya dikarenakan dirinya. Waktu itu setelah dia bermain di taman, dia memegang adiknya dengan tangannya yang kotor, untuk menghentikan tangisan adiknya.

Dokter pribadi keluarganya menyatakan bahwa Janice mengalami OCD dan memerlukan pengobatan Serotonin reuptake inhibitor (SRI). Seiring waktu, intensitas frekuensi OCD-nya menjadi sering dan sulit baginya untuk mengontrol dengan obat-obatan. Bila hanya dengan obat, itu sangat  tidak efektif, dia juga menerima adjunctive psychology therapy. Dia pernah dirawat di rumah sakit jiwa sebanyak  empat kali karena OCD-nya pada tahun lalu. Dia diobati dengan obat dan Cognitive behavioral therapy  (CBT), dan distabilkan. Rawat inap saat ini adalah yang kelima karena dia benar-benar suda lemah kerena OCD-nya, sejauh ini  dia tidak dapat meninggalkan kamarnya selain untuk mengurus kebersihan dirinya karena dorongan kecemasannya yang tinggi.

Analisis
Dari kasus tersebut didapatkan bahwa Janice mengalami Gangguan Obsesif- Kompulsif (PPDGJ-III). Janice merasa khawatir akan kebersihan sehingga dia harus berulangkali membersihkan kamarnya dan dirinya agar tidak terkena kuman.

Pedoman Pikiran Obsesif. Keadaan dapat berupa : gagasan, bayangan pikiran, atau impuls (dorongan perbuatan), yang sifatnya mengganggu (ego alien). Dan meskipun isi pikiran tersebut berbeda-beda, umumnya hampir selalu menyebabkan penderitaan (distres).

Pedoman Tindakan Kompulsif. Umumnya tindakan kompulsif berkaitan dengan : kebersihan (khusunya mencuci tangan), memeriksa berulang-ulang untuk meyakinkan bahwa suatu situasi yang dianggap berpotensi bahaya tidak terjadi, atau masalah kerapihan dan keteraturan. Hal tersebut dilatar belakangi perasaan takut terhadap bahaya yang mengancam dirinya atau bersumber dari dirinya dan tindakan ritual tersebut merupakan ikhtiar simbolik dan tidak efektif untuk menghindari bahaya tersebut. Dan tindakan ritual kompulsif tersebut menyita banyak waktu sampai beberapa jam dalam sehari dan kadang-kadang berkaitan dengan ketidak-mampuan mengambil keputusan dan kelambanan.
  • Disfungsi psikologis yaitu individu abnormal dimana individu tersebut tidak dapat menjalankan perannya. Ada 3 kriteria individu yaitu kognitif, afektif dan psikomotor.

  1. Secara kognitif : Janice merasa cemas akan kebersihan, kehawatiran akan kuman-kuman yang dapat membuatnya sakit bahkan mati. Saat dia telah melakukan sesuatu atau ada sesorang menyentuh barang-barangnya, dia langsung membersihkan dirinya dan membersihkan barang-barangnya.
  2. Secara afektif : Janice selalu merasa bersalah karena dia beranggapan bahwa kematian adiknya disebabkan oleh dirinya, saat tangannya kotor dan dia menghentikan tangisan adiknya dengan tangannya yang kotor. Sehingga dia ‘harus selalu’ dalam kedaan bersih.
  3. Secara psikomotor : Jasice menghindari aktivitas yang menurutnya akan membuat dirinya kotor, karena itu akan mengancam dirinya.

  • Distress (impairment) hendaya yaitu individu abnormal yang menunjukan keadaan "merusak" diri baik secara fisik maupun psikis. Secara fisik : Janice mengalami kelelahan karena selalu malakukan bebersih. Secara psikis : Janice merasa cemas saat dia bersosialisasi, karena dia khawatir akan terkena kuman. Dan situasi ini membuat Janice tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan baik.
  • Respon atipikal yaitu respon yang tidak sesuai dengan sosiokultural yang ada dilingkungan sekitarnya. Janice selalu merasa cemas sehingga dia harus selalu membersihkan dirinya, ruangannya dan barang-barangnya. Dan ini membuatnya tidak dapat melakukan aktivitas yang baik sehari-harinya.  Dalam budaya sekitarnya, hal ini tidak wajar, karena bagaimana pun juga Janice harus melakukan aktivitas sehari-hari yang setiap orang lakukan.
Sumber : 
  1. Jurnal "A Mindfulness-Based Treatment of Obsessive-Compulsive Disorder", NIRBHAY N. SINGH-ONE Research Institute, ROBERT G. WAHLER-University of Tennessee, Knoxville, ALAN S. W. WINTON-Massey University, ANGELA D. ADKINS-Western State Hospital, THE MINDFULNESS RESEARCH GROUP. Clinical Case Studies/2004.
  2. PPDGJ-III 

Gejala-gejala Gangguan Kejiwaan

*Tingkah  Laku
  1. Gerakan Badan           : Melakukan satu gerakan secara terus menerus tanpa merasa lelah.
  2. Katatonia                     : Stupor (patung). Bila kondisi telang ‘mematung’ selama satu minggu, biasanya pasien di strum, ECT (electro convulsive therapy)
  3. Kompulsi                     : Repetitif (obsesif kompulsif). OCD (obsesive compulsive disorder = melakukan hal secara berulang-ulang), seperti mencuci tangan atau memeriksa pintu.

      *Orientasi
  • Waktu, tempat dan identitas.

*Isi Pikiran
  • Obsesi : Pikiran dan bayangan, yang repetitif, yang tidak dikehendak yang masuk dalam kesadaran individu. Obsesi menjadi Kompulsi
  • Delusi : Waham. Kepercayaan atau keyakinan palsu yang tidak adekuat, tidak dapat dikoreksi.

            *Gaya Berpikir
  • Tidak logis, tidak sistematis
  • Gangguan berpikir yang dapat dilihat dari cara berpikir atau bahasa yang digunakan.

      * Afektif dan Suasana hati (mood)
  • Mood : Perasaan subjektif yang tidak bertahan lama, yang dapat berubah. Ada dua macam mood, yaitu Disforik dan Euforik.
  • Disforik (sedih, memelas, melankolis) mengacu pada Depresi. Sedangkan Euforik (senang, heboh, gembira) mengacu pada Manik. Bila Disforik + Euforik = Bipolar (gangguan afeksi).
  • Emosi : Perpaduan afek dan mood
  • Afek : Ekspresi emosi

       *Pengalaman Pesepsi
  • Halusinasi adalah kesalahan persepsi proses penginderaan terkait dengan indra peraba, olfaktori , pendengaran yang tidak dapat dikoreksi. Terjadi pada orang abnormal.
  • Ilusi adalah kesalahan persepsi. Contoh ketika kita memasukkan pensil kedalam gelas yang berisi air maka terlihat seolah-olah pensil tersebut bengkok atau patah, ini terjadi karena ilusi. Terjadi pada orang normal.

       *Perasaan diri
  • Depersonalisasi adalah Keadaan dimana seseorang merasa ada sesuatu bagian tubuhnya yang lepas atau hilang.
  • Kekacauan Identitas adalah kepribadian ganda (multiple personality).

      *Motivasi (rendah atau tinggi)
     *Inteligensi (rendah atau tinggi)
     *Tilikan diri (insight) Pemahaman terkait dengan keadaan diri.



      Perbedaan antara Sign, Simtom dan Sindrom
  1. Sign adalah Tanda atau gejala objektif yang didapat dari hasil observasi (psikiater atau psikolog)
  2. Simtom adalah Pengalaman subjektif yang digunakan oleh pasien. Ex : mood yang tertekan, dan berkurangnya tenaga.
  3. Sindrome adalah Fungsi dari simtom, kumpulan - kumpulan dari simtom yang muncul secara bersama-sama. Ex : Afek disfosik dan commit suicide (depresif).


Sumber : Materi kuliah Psikologi Abnormal tgl 27 Feb 2012. Dosen, bu Zarina Akbar, M.Psi (UNJ)

Kriteria Normal Abnormal


KRITERIA PRIBADI YANG NORMAL (Maslow & Mittelman dalam Kartono, 1989)
  1. Memiliki perasaan aman (sense of security) yang tepat
  2. Memiliki penilaian diri (self-evaluation) dan insight yang rasional
  3. Memiliki spontanitas dan emosionalitas yang tepat
  4. Mempunyai kontak dengan realitas secara efisien
  5. Memiliki dorongan-dorongan dan nafsu jasmaniah yang sehat
  6. Mempunyai pengetahuan diri yang cukup, antara lain dapat menghayati motif-motif dalam hidupnya secara sadar
  7. Mempunyai tujuan hidup yang adekuat
  8. Memiliki kemampuan untuk belajar dari pengalaman hidupnya
  9. Ada kesanggupan untuk memuaskan tuntutan-tuntutan dan kebutuhan-kebutuhan dari kelompoknya
  10. Ada sikap emansipasi yg sehat terhadap kelompoknya dan terhadap kebudayaan
  11. Ada intergrasi dalam kepribadiannya
KRITERIA TINGKAH LAKU ABNORMAL

Dari Aspek Biologis

è Ketidakseimbangan zat-zat biokemis di dalam sistem syaraf.
Zat Biokemis itu yg menyebabkan lancarnya proses sinapsis. Ada tidak adanya zat biokemis ini yang menyebabkan munculnya Gangguan Abnormalitas
è Adanya Simtom jasmani yang mencakup : tidur, nafsu makan, dan tingkat energi

Aspek Psikologis

è Adanya pengalaman pengindraan dan persepsi yang tidak normal (misalnya pengalaman traumatis)
è Adanya penyimpangan dalam proses kognitif / distorsi kognitif
è Emosi yang terganggu
è Distres / kesedihan yang mendalam
è Tingkahlaku maladaptif /malsuai

 Aspek Sosiokultural : Pelanggaran norma sosial, menyakiti / mengganggu orang lain.



Pengukuran Psikologis

Evaluasi terhadap status psikologis,
dengan tujuan :
  1. Diagnosa (biasa ditulis dengan huruf Dx = F (huruf F, klasifikasi suatu penyakit, disini berupa gangguan jiwa).
  2. Menentukan kapasitas mental, melalui ;
  • Assessment :

  1. Observasi perilaku
  2. Wawancara
  3. Tes psikologis : Inteligensi, kepribadian
  4. Psikofisiologis
  5. Fisik
  6. Neuropsikologis



Sumber : Slide MK Psikologi Abnormal, dosen bu Zarina Akbar, M.Psi (UNJ)